Kamis, 03 November 2011

Respon Esai Kebangkrutan Moral

Artikel berjudul “Kebangkrutan Moral” pada Pikiran Rakyat Jumat, 27 Mei 2011, merupakan salah satu tinjauan kritis yang baik untuk dibaca oleh para pendidik generasi penerus bangsa ini. Ditulis oleh seorang anggota Dewan Pendidikan Tinggi, Alwasilah, artikel ini adalah cerminan dari rapuhnya tiang pendidikan di negeri ini dalam menghadapi gelombang gaya hidup modern yang berkembang pesat dewasa ini. Di dalam esai ini, saya akan mencoba menanggapi beberapa pemikiran penulis dengan berbasiskan pendidikan karakter bangsa.
Alwasilah menulis mengenai bobroknya moral bangsa Indonesia ini ditinjau dari aspek pendidikan. Secara objektif, penulis memberikan kritik tajam terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah terhentinya pendidikan karakter ketika seorang siswa mulai menapaki dunia perkuliahan dimana dia akan difokuskan untuk membangun keahlian diri demi karir vokasionalnya. Kemudian, visi dan misi pendidikan formal yang  secara filosofis benar dan mulia tidak bisa berkembang dan berbuah baik. Hal ini dikarenakan dia tumbuh pada ranah budaya pop yang mana kemudian siswa disuguhi dengan konsumerisme, hedonisme, dan globalisasi.
Melihat keadaan moral bangsa Indonesia seperti yang sudah dituliskan dalam kritik pendidikan tersebut, saya mendukung pemikiran penulis bahwa tenaga pendidik mempunyai peranan besar dalam membangun generasi penerus bangsa. Pendidikan karakter seharusnya tidak boleh berhenti sampai akhir hayat dan yang terpenting, pendidikan karakter itu juga harus direfleksikan kepada para mendidik itu sendiri. Saya setuju bahwa paradigma guru harus diubah dari membuat siswa itu pintar menjadi membuat siswa yang berakhlak mulia.
Coba refleksikan pertanyaan “Apakah gurumu sudah mempunyai akhlak yang baik sehingga kamu memberikan kepercayaan kepadanya untuk membimbingmu menghadapi dunia?” kepada guru itu sendiri. Menurut saya, menjadi guru adalah komitmen mendidik seumur hidup. Tetapi faktanya, masih banyak tenaga pendidik yang menjadikan profesi guru adalah ladang untuk mencari penghidupan, harga diri, kehormatan, dan kemudian status dan peran sosial terlebih pada tingkat perguruan tinggi sehingga mereka lupa pada tugas mereka yang sebenarnya.
Di dalam artikel ini juga Alwasilah mengemukakan ide Tobat Akademik. Bukti pertama yang penulis kategorikan sebagai indikator ambruknya moral bangsa adalah dengan lemahnya penggunaan bahasa daerah dan bahasa Indonesia dikarenakan adanya imperialisme bahasa asing. Menurut pandangan saya, adalah terlalu dini jika bobrok tidaknya moral bangsa Indonesia dilihat dari segi budaya berbahasa. Jika diposisikan sebagai manusia, generasi penerus bangsa ini diibaratkan sebagai remaja yang sedang gencar mencari jati dirinya.
Bangsa Indonesia dipaksa tumbuh berkembang di jaman global yang serba instan dimana segala sesuatunya dituntut untuk cepat dan praktis. Sungguh disayangkan, di dalam proses membangun pilar moral yang kokoh, lembaga pendidikan di Indonesia masih banyak yang lebih mempercayakan tenaga asing sebagai pendidik generasi bangsa. Hal ini terlihat dengan semakin banyaknya sekolah yang mengusung paham dwi bahkan multi bahasa yang dilandaskan pada kualitas internasional. Jelas sekali bahwa bangsa ini masih terlalu silau dengan euphoria modernisme sehingga apapun yang berbau asing akan diberikan penghargaan lebih dan selalu melihat diri sendiri salah.  Di sinilah tugas pendidik profesional diperlukan untuk menjadi “ibu” yang bisa menyaring dogma imperialisme dan membimbing generasi selanjutnya ke arah yang lebih baik yakni, manusia yang berakhlak mulia sesuai dengan nilai kebudayaan Indonesia.
Menurut Dedi Supriadi, profesi guru masih sedang bertumbuh dan tingkat kematangannya belum sampai pada apa yang telah dicapai oleh profesi-profesi tua seperti contohnya kedokteran, hukum, notaris, farmakologi, dan arsitektur. Sungguh disayangkan, semua ilmu ini berkembang dengan sangat pesat di dunia Barat. Di dalam bukunya yang berjudul “Mengangkat Citra dan Martabat Guru”, Supriadi mengemukakan bahwa di Indonesia, seorang sarjana pendidikan atau sarjana lainnya yang bertugas di institusi pendidikan dapat mengajar mata pelajaran apa saja, sesuai kebutuhan guru mata pelajaran di institusi tersebut. Hal inilah yang menurut saya pada akhirnya menjadi sebuah paradoks, imperialisme itulah yang kemudian kita butuhkan sebagai wacana untuk mengembangkan diri.
Harus diakui bahwa Indonesia tertinggal jauh dalam hal keilmuan. Tantangan bagi bangsa Indonesia adalah bisa memposisikan budaya pop menjadi wacana sebagai sarana untuk perkembangan pilar moral di negeri ini. Dengan tetap memegang teguh nilai-nilai kebudayaan Indonesia, seyogyanya kita bisa menjadi bangsa Indonesia yang berakhlak mulia di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar